Mudik ke Lampung


Mudik ke Lampung

Oleh: Mula Harahap

Pembantu rumah tangga kami yang bernama Sriani itu sangat lugu. Karena itu ketika ia menjalani Lebaran pertamanya di rumah kami dan--sebagaimana biasanya pekerja migran--hendak mudik ke kampung halamannya di Lampung, saya tidak tega membiarkannya pulang seorang diri. "Banyak sekali orang jahat di terminal Kalideres, di pelabuhan Merak dan di pelabuhan Bakahuni. Anak ini bisa menjadi korban penipuan atau perampokan...." kata saya.

Karena itu kami bertanya kepada Sriani kalau-kalau dia memiliki teman sekampung yang bekerja di Jakarta dan juga berencana hendak mudik. Mungkin kami bisa menitipkan gadis yang masih lugu itu dengan orang tersebut. Tapi Sriani menggelengkan kepalanya. Dia tidak memiliki informasi tentang teman sekampungnya yang bekerja di Jakarta.

"Yah, sudahlah," kata saya kepada isteri saya. "Biar saya yang mengantarnya pulang ke Lampung...."

"Kalau begitu, saya ikut menemanimu," kata isteri saya.

Sebenarnya ketika mengatakan hendak mengantar Sriani pulang ke Lampung saya kurang berpikir panjang. Saya pikir, setelah menyeberangi Selat Sunda, sampailah saya ke kampung Sriani. Dan lagipula--inilah cilakanya--saya memang orang yang selalu "gatal kaki" dan suka berjalan entah kemana saja.


Pada suatu hari Sabtu tiga hari menjelang Lebaran berangkatlah kami--saya, isteri saya dan Sriani--ke Merak. Saya sengaja memilih berangkat di malam hari. Perhitungan saya, kami akan tiba di Merak lewat tengah malam, menyeberang selama beberapa jam, tiba di Lampung pagi hari, mengantar Sriani ke kampungnya, lalu kembali lagi ke Jakarta siang harinya.

Seperti yang telah direncanakan, pagi harinya kami tiba di Pelabuhan Bakahuni. Saya masih tenang-tenang saja. Mobil saya pacu ke Bandar Lampung. Saya pikir pasti kampung Sriani ada di sekitar kota ini.

Lewat kota Bandar Lampung saya bertanya kepada Sriani, "Kampungmu dimana?"

Sriani hanya tersenyum cengar-cengir.

"Sri, Bapak bertanya sungguh-sungguh. Kampungmu dimana?"

"Nggak tahu," kata Sriani.

"Matilah kita," kata saya dalam hati.

Isteri saya yang duduk di sebelah saya, dan yang sudah merasa letih dalam perjalanan mulai angkat suara, "Itulah selalu penyakitmu. Terlalu gampang untuk memutuskan sesuatu dan tak pernah berpikir panjang...."

"Manalah kutahu bahwa Lampung akan seluas ini. Kupikir Lampung itu hanyalah daerah selepas Pelabuhan Bakahuni. Apalagi, kalau dilihat di peta, propinsi itu kecil saja...."

"Makanya kalau melihat peta, baca skalanya. Belanda pun kalau di peta hanya 10 sentimeter dari Jakarta," kata isteri saya.

Menjelang kota Bandar Jaya saya barulah sadar bahwa urusan kampung Sriani ini adalah urusan yang bukan main-main. Karena itu mobil saya hentikan di pinggir jalan.

"Coba kau ingat-ingat apa nama kecamatanmu," kata saya kepada Sriani

"Kayaknya Mesuji, Pak," jawab Sriani.

"Ah, bagus," kata saya. Kembali penyakit saya kambuh. Saya pikir Mesuji itu adalah sebuah kecamatan "somewhere" di dekat Bandar Jaya. Tapi ketika saya tak kunjung menemukan papan nama toko, kantor koramil atau kecamatan yang bertuliskan "mesuji" hati saya mulai tak enak. Di sebuah tukang tambal ban, mobil saya hentikan. Kepada tukang tambal ban itu saya bertanya dimana Kecamatan Mesuji. Tukang tambal ban menerangkan bahwa Mesuji itu ada di dekat perbatasan dengan Sumatera Selatan. Dan untuk kesana, di daerah Menggala saya harus mengambil Jalan Lintas Timur.

"Matilah kita," kata saya kembali dalam hati.

Menjelang sore kami pun tiba di daerah Mesuji. Kembali saya baru menyadari bahwa ternyata sebuah kecamatan di daerah-daerah luar Pulau Jawa jauh lebih besar dari Jakarta.

Karena kecamatan Mesuji di kiri-kanan Jalan Lintas Timur itu sudah hampir habis kami lalui, kembali saya bertanya kepada Sriani, "Nama kampungmu apa?"

"Nggak tahu," kata Sriani. Dan kembali saya berkata dalam hati, "Matilah kita."

Tapi untunglah saya tidak kehilangan akal. Di pinggir jalan tersebut saya melihat sebuah kantor kelurahan. Dan ada seorang lelaki memakai celana warna hijau dan kaus oblong sedang duduk-duduk di keteduhan pohon. Ternyata dia adalah lurah di daerah itu. Saya menceritakan kesulitan saya kepada Bapak Lurah

Bapak Lurah bertanya kepada Sriani, "Nama lurahmu siapa, Nduk?"

"Sapuan," kata Sriani. Puji Tuhan, untunglah Sriani masih ingat nama lurahnya.

"Oh," kata Bapak Lurah. "Bapak sudah kelewatan. Bapak harus kembali 10 kilometer lagi ke arah Menggala. Nanti di sana ada pasar dan jalan ke kiri. Masuki jalan itu kira-kira 15 kilometer ke dalam....."

Karena keterangan Bapak Lurah sangat sulit saya cerna, maka saya meminta bantuan seorang pemuda yang kebetulan menonton percakapan kami, untuk menjadi penunjuk jalan. "Kau antar saya ke sana, nanti saya antar kau kemari.....," kata saya.

Jalan menuju kampung Sriani--atau tepatnya, kampung Bapak Lurah Sapuan--hanyalah jalan tanah yang mengeras karena sering dilalui oleh truk-truk pengangkut singkong. Untunglah saat itu adalah musim panas dan mobil yang saya pakai Ferosa.

"Bagaimana kalau kita bertemu dengan rombongan gajah di tempat ini?" kata saya melucu sambil mengendurkan ketegangan.

"Akh, sudahlah. Diam sajalah kau," kata isteri saya. Mungkin dia percaya bahwa di daerah yang sepi ini masih berkeliaran gajah.

Menjelang magrib kami pun tiba di kampung yang dituju. Teryata dari kampung itu ada sebuah bus yang mengangkut penumpang ke Terminal Rajabasa. Dan bus itu berangkat hanya sekali dalam sehari yaitu pagi-pagi sekali.

Kata saya kepada isteri saya, "Oh, patutlah Si Sriani ini tak tahu apa-apa. Badannya kecil. Orang-orang berjejal di bus. Dia tak bisa melihat keluar dari jendela. Dia hanya duduk saja dan tiba di Terminal Rajabasa..."

Para tetangga Sriani bingung melihat dia pulang diantar oleh majikannya suami-isteri. Setelah berbasa-basi sebentar, kami pun memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Mobil penuh dengan oleh-oleh singkong dan rambutan.
Hari sudah malam ketika saya menurunkan pemuda yang menjadi penunjuk jalan itu di desanya.

Saya memacu mobil di sepanjang Jalan Lintas Timur itu kembali ke arah Bandar Lampung. Tapi badan saya sudah letih dan konsentrasi saya sudah mulai menurun. Isteri saya rupanya memperhatikan bahwa saya sudah beberapa kali membuat kesalahan ketika memacu mobil.

"Kita cari hotel dan kita bermalam saja dulu. Besok kalau badanmu sudah segar kita lanjutkan perjalanan ke Jakarta," kata isteri saya.

"Tenang sajalah kau. Saya masih kuat, koq," kata saya. Lagipula, tidak ada hotel yang layak untuk disinggahi di daerah tersebut.

Isteri saya tetap ngotot agar kami bersitirahat saja. "Aku masih sayang kepada kedua anakku. Aku tidak mau mati konyol bersamamu di Jalan Lintas Timur ini," katanya.

Di dekat Menggala ada sebuah losmen di pinggir jalan. "Kita berhenti di sana," kata isteri saya.

"Tapi hotel itu adalah hotel untuk para supir dan salesman mobil-mobil boks yang membawa obat nyamuk, teh botol, mie instant.....," kata saya.

"Ya, kenapa rupanya?" kata isteri saya.

"Dan banyak pula perempuan-perempuan yang tak jelas di sana," kata saya lagi.

"Ya, tak mengapa," kata isteri saya.

Akhirnya kami pun masuk dan memesan sebuah kamar di losmen yang penerangannya adalah lampu pijar 40 watt itu.

"Baru kali ini aku dan kau menginap di sebuah hotel," kata saya menggoda isteri saya sambil merebahkan diri di ranjang yang terbuat dari besi itu. "Walau pun sudah terlambat, tapi bagaimana kalau kita berbulan madu saja di losmen ini?"

"Diam. Jangan macam-macam. Tidur saja. Besok kita harus bangun pagi-pagi dan kembali ke Jakarta," kata isteri saya sambil membalikkan badan dan memunggungi saya [.]

Purnawacana:
------------

Setelah pengalaman pertama mudik ke Lampung itu saya menjadi pintar. Pada lebaran tahun-tahun berikutnya (selama 5 tahun), saya cukup mengantar Sriani ke Terminal Rajabasa. Saya mengatur waktu sedemikian rupa agar tiba di terminal tersebut jam 5 pagi. Disana Sriani saya naikkan dan titipkan ke supir bus (satu-satunya bus) yang membawanya ke kampungnya. Dan isteri saya pun tak pernah lagi mau ikut menemani saya mudik ke Lampung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar