Tung holan ho hasian tinodo ni rohan ku
Tung holan ho do hasian sinolom ni matang ku
Ho do sian sa sude nasa natarbereng ahu
Hasudungan ni rohangki
Aut tung gaor poe galumbangi ingkon do laengean ku
Ai tung rahis poe dalan i ingkon do jururan ku
Asa tung dilambungmi au nian ale ito da hasian
Sai torang ma songon langit
sai tiur songon rondang ni bulan
Mula jadi nabolon oloi pnagidoan
Patulus angka angan-angan
Sai unang hami sirang so sirang ni hamatean i 2 x
================== 70 ==============
Tanpa aku sadari tangan ku menopang dagu, menatap hampa ke depan.
Maya mengagetkan ku ketika dia kembali dari dapur sambil membawa
minuman untuk ku, " bang, pikirin apa " tanyanya. ( Bersambung)
===================================
Setelah makan siang dengan Maya, kami berangkat ke kebun. Anganku,
kisah percintaan kami akan berlangsung langgeng, ah....angin sepoi
menyambut aku dan Maya, bernaung dibawah pohon durian sambil berucap
kata cinta.
Ketika mulai melangkah, dihalaman rumah sejumlah anak-anak sekolah
minggu berkerumun sambil memanggil Maya, minta ikut pula. Memang Maya
selama pulang kampung selalu ikut mengajar anak-anak sekolah minggu.
Ah... "pukimbenya" semua ini, kata ku dalam hati, kesal.
Maya melihat perubahan sikap ku atas kehadiran anak-anak sekolah
minggu.
"Bang sebentar aku "amankan" dulu mereka ," katanya. Maya menggiring
muridnya kerumah sembari memanggil adiknya.Satu bocah laki diantara
muridnya merasa cemburu, dia marah-marah kepada Maya: " Kak, nggak
boleh pergi dengan abang itu. Kakak tadi janji mau main sama aku,"
katanya merengek. Maya berhasil membujuknya, sibocah pergi tapi
memplototin ku, "abang jelek," katanya kesal.
*****
Sehari sebelum kembali ke Medan, kedua orang tua mendahului "sidang
meja hijau" ku. Pertanyaan Ibu lembut tetapi menusuk.
" Ibu kira kalau sudah sekolah tinggi, perilakunya sudah
semakin "tinggi" tetapi ternyata kau jadi tinggi hati. Tak lagi kau
pikirkan sopan santun berpakaian.
Dulu, kamu yang paling rajin bawa " buku ende" ke gereja. Kemarin
jangankan "buku ende' pakaian mu pun seperti anak pasaran yang nggak
punya pendidikan." sentil ibu .
Usai "nyanyian" ibu, ayah langsung menohok dengan sederet
pertanyaan; "Bagaimana urusan mu dengan ibu dosen mu? Jadinya kau
nanti meja hijau? Setelah kau purtus dengan pacar mu dulu, kau mabuk-
mabukan, patentang-patenteng seperti kebanyakan uang.!"
Bagai berbalas pantun, selesai ayah, ibu melanjutkan sentilannya.
" Yang tak ada lagi anak gadis yang dapat kau pacarin? Kok, pacaran
sama perempuan yang masih bersuami. Hancur sudah nama baik kami gara-
gara kamu. Barangkalai kalau kau pacaran dengan janda, kami tidak
terlalu menanggung malu, walaupun aku dan ayahmu tidak akan setuju
kalau kau pacaran dengan janda," ujar ibu.
Aku tak berani mengangkat wajah menatap ayah dan ibu setelah aku
habis "dikuliti" malam itu. Tak ada yang perlu dikoreksi. Setelah
mohon maaf, aku jelaskan semua "kehancuran ku", setelah putus dengan
Magda, kemudian kenapa aku berteman dengan Susan.
Diakhir "persidangan" malam itu, ibu menitikkan air matanya sambil
berujar," Zung, kami memberangkatkan kamu sekolah dengan keringat
darah. Kami bersusah payah menyekolahkan mu dengan harapan kamu
menjadi orang yang patut dicontoh adik-adik mu...."
Belum selesai ibu mengakhiri kalimatnya, aku memeluk dan menciumi
wajahnya dengan sesunggukan. Aku hapus airmatanya dengan kedua tangan
ku, " Ibu, aku janji akan berubah. Doakan aku, bulan depan aku maju
ke meja hijau. Kalau aku lulus, ayah dan ibu harus datang menghadiri
wisuda ku." ujar ku.
Ayah menanyakan hubungan ku dengan Maya, " selama seminggu ini kau
selalu dengan Maya. Bagaimana kelanjutannya?" tanya ayah.
" Boleh kau berteman dengan siapapun. Alai unang salpu-salpu hatam/
jangan kamu asal membuat janji." kata ibu mengingatkan. Aku jadi
teringat dengan janji ku menikahi Susan, kemudian menyesalinya.
" Aku dan Maya masih berteman biasa," ucapku
" Berteman biasa kau bilang, pakaian mu pun sudah disetrikanya,
setiap hari kau dilayani makan, pulang larut-larut malam. Aku pun
dulu pacarannya sama ibu mu sebelum nikah. Na godang kecet mu/ banyak
kali cengkunek mu" ujar ayah ketawa, disambut gelak ibu ku.
Mengakhiri pembicaraan kami malam itu, kembali ibu mengingatkan
dengan pesan pamungkasnya, "jangan kau sakiti hati perempuan dengan
janji kosong."
****
Satu jam sebelum kami berangkat ke Medan, Maya telah datang ke rumah
diantar oleh adiknya laki. Sebenarnya, Maya akan kembali ke Medan
minggu depannya. Maya mempersingkat kunjungannya di kampung setelah
di beritahu kalau aku hanya berkunjung selama seminggu.
Sementara kami asyik bicara, ibu menyelah sambil menyerahkan "buku
ende/kidung jemat". Maya tersenyum melihat ku ketika ibu
menyerahkannya.
Setelah ibu menjauh, aku bicara pelan ke telinga Maya, " kata ibu ku,
nanti di dalam bus kita nyanyi bersama dari buku ende ini." Maya
hanya tersenyum sambil mencubit paha ku.
Ke dua orang tua ku turut memberangkatkan kami setelah bus menjemput
kami. Selama perjalanan yang menghabiskan waktu enam jam itu, tak
banyak yang kami bicarakan. Maya tak kuasa menahan kantuknya setelah
sebelumnya aku dan Maya menikmati sinar rembulan hingga menjelang
subuh.
Aku merebahkan wajahnya ke pangkuanku setelah beberapa lama bersandar
di atas dadaku. Sesekali aku mengecup pipinya setelah
melihat"tetanga" pada tertidur.
Maya terjaga ketika aku menggerai rambut yang sama panjangnya
dengan rambut Magda. Semoga rambut Maya tidak menjadi "korban" kedua,
bisik hatiku. Maya meletakkan tangan ku diatas pipinya dan menatap ku
dengan mata kuyu. Kembali Maya memejamkan matanya sementara tanganku
masih diatas pipinya masih dalam gemgamannya.
Sopir bus yang kebetulan teman sekampung sengaja memutar lagu-lagu
bernuansa cinta, lembut, menghantarkan mata ku mulai redup. Maya
bangun, duduk dan merapikan rambutnya yang baru saja ku gerai.
Tangannya meraih wajah ku dan menindihkan pelan kesisi lengannya. "
Bang, gantian, istrahatlah sebelum kita sampai," ucapnya.
Maya tersenyum dan membiarkan ketika rambutnya ku gerai menutupi
wajah ku.( Bersambung)
Los Angeles, October 30 , 2008
Tan Zung
Dosenku Pacarku (71)
Label:
Kisah Sahabat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar