Mau dengar lagunya, klik disini...
Sudah kubilang jangan kau petik mawar yang penuh berduri
Sudah kubilang jangan kau dekati api yang membara
Jangan `kan tertusuk nanti/jangan kau `kan terbakar nanti
Jangan kau bawa diri mu dalam mimpi
Jangan..jangan lagi jangan sayang/ Kau deraikan lagi air mata di
pipimu
Jangan jangan lagi..jangan sayang/kau nyanyikan lagi simponi yang
menyayat kalbu
Sudah kubilang jangan kau petik mawar yang penuh bwrduri
Sudah kubilang jangan kau dekati api yang membara
Jangan `kan tertusuk nanti/jangan kau `kan terbakar nanti
Jangan kau bawa diri mu dalam mimpi
Jangan..jangan lagi jangan sayang/ Kau deraikan lagi air mata di
pipimu
Jangan jangan lagi..jangan sayang/kau nyanyikan lagi simponi yang
menyayat kalbu
================ 65 ================
" Namboru..! memang aku piala bergilir," ucap ku nyegir. Seperti
biasanya namboru menyambut ucapanku dengan ketawa lepas, seraya
menyerahkan satu envelope berisi sejumlah uang.
" Nih, titipan ibu Susan, bapak dapat rejeki dari kiri-kanan. Tetap
hati-hati bapak, pilihan hanya satu." ujarnya mengingatkan. (
Bersambung )
==================================
Beban ku semakin bertambah setelah membuka envelope titipan Susan
berisi sejumlah uang. Pemberian seperti ini paling aku tak suka,
juga ketika berteman dengan Magda dan dia tahu itu. Magda pernah
kelimpungan kena damprat karena membayar makanan kami tanpa
sepengetahuan ku.
Hampir saja aku membuang envelope titipan Susan ke tong sampah, aku
benar-benar tersinggung; meski barangkali dia memberi dengan tulus
hati. Aku serba salah, dikembalikan pasti dia tersinggung, ku simpan
dia mungkin mengira aku menerima dengan ikhlas, dan harus pula
mengucapkan terimakasih, huh....!
Semalaman mata sukar terpejam memikirkan jalan terbaik untuk
mengakhiri hubungan ku dengan Susan, kini ditambah pula dengan
pemberian sejumlah uang.
***
Aku merasa "surprise " melihat Magda datang sendirian mengenderai
mobil untuk menghantarkan ku ke teminal. Tampak wajahnya segar,pagi
itu bibirnya dilapisi lipstick tipis, biasanya dia ber make-up bila
kami berpergian ke pesta. Di dalam mobil aku memujinya, " Magda, pagi
ini kamu segar dan manis sekali, aku senang melihat bibir mu...ehh
maksud ku lipstick mu. " pujiku.
" Nggak dua-duanya bang," ujarnya menggoda.
" Halah....kami beraninya di dalam mobil, coba kamu ngomong dirumah
ku "habisi" kau." kataku gemas.
Magda tak melayani ucapan ku, dia mengalihkan pembicaraan kami dengan
tertawa. Setelah tiba diterminal, dia mengusulkan supaya aku tidak
usah pakai tongkat.
" Zung, nggak usah pakai tongkat, nanti mamatua kaget melihat abang,
jalannya pelan-pelan saja. Biar aku bawa tonngkatnya kerumah."
ujarnya.
" Iyalah....kalau Magda rindu, pandang saja tongkat ku pelepas rindu
mu."
" Rindu maho. Magda bakar nanti tongkat ini." ucapnya ketawa.
" Bagusss...setelah kau bakar pemiliknya kini giliran tongkatnya."
ujar ku.
" Oalahh..ito Zung, bicaranya selalu bermuara ke laut," balasnya
sambil melirik ku.
Setibanya di terminal, tak sedikit pun Magda merasa rikuh membantu ku
turun dari mobil, menenteng tas dan memegang lengan ku. Magda masih
setia menunggu ku hingga jadual keberangkatan bus.
Dalam percakapan di ruang tunggu, tak ada lagi kata-kata bersentuhan
dengan cerita tentang cinta. Aku dan Magda saling ngenyek soal
tingkah laku masa-masa lalu, kamipun menjadi perhatian dari calon
penumpang lainnya karena keceriaan kami.
Magda mengecup pipi ku ketika akan berpisah, dia masih membantu ku
berjalan hingga kedalam bus.
" Zung, salam sama mamatua, bapa tua dan adik-adik, juga untuk Sinta.
Jangan "nakal" dikampung." ujarnya tersenyum.
****
Aku tiba di kampung setelah melewati perjalanan yang sangat
melelahkan dan membosankan. Suasana ramai menyambutku termasuk Sinta
dan calon suaminya, kebetulan mereka sedang berkeumpul dirumah ku.
Melihat aku berjalan agak pincang, Sinta, membantu ku jalan, " Aku
pikir abang nggak datang. Kalau tadi nggak datang akan ku pecat
sebagai pariban. Apa khabar ibu Susan,?" tanya Sinta pelan.
" Sinta, jangan kau buat perkara, sekali lagi kau tanyakan itu, aku
akan gigit bibir mu didepan calon suami mu, mau?" ancam ku.
" Aku kan bertanya pelan bang," jawabnya sedikit menghindar, takut
ancaman ku benar-benar terjadi.
Aku mulai gelisah, Sinta pasti sudah cerita sama ibu, pikirku. Memang
mulut pariban ku ini kayak "ember" kalau menyangkut pacar ku. Cerita
dari A hingga Z lengkap dengan titik komanya pasti sampai kepada ibu
ku, namborunya. Aku tinggal menunggu waktu "pengadilan" kedua orang
tua ku, runyam sudah. Semangat ku jatuh pada titik dibawah nol,
minus.
"Sinta, kau sudah cerita sama ibu.? Darimana kamu tahu hubungan ku
dengan Susan," tanya ku pelan..
" Aku cuma cerita sedikit. Aku juga tahu dari Maya ( bukan nama
sebenarnya ). Om dia dan Susan sama-sama dosen di kampus abang."
" Ah...kalian bocor halus semua, kuping pakai antena bercabang
seribu," keluh ku. (Bersambung)
Los angeles, October 29, 2008
Tan Zung
Dosenku Pacarku (66)
Label:
Kisah Sahabat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar