"Tuhan Itu Baik Kepada Semua Orang ..."
(bdk. Mzm. 145:9a)
Saudara-saudari yang terkasih,
segenap umat Kristiani Indonesia di mana pun berada, Salam sejahtera dalam kasih Tuhan kita Yesus Kristus.
1. Dalam suasana kebahagiaan Natal sekarang ini, kembali Tuhan menyapa dan mengingatkan kita umat-Nya untuk merayakan Natal ini dalam semangat kedamaian, kebersamaan dan kesahajaan. Dengan mengucap syukur sambil melantunkan kidung Natal dan doa, kita merenungkan, betapa baiknya Tuhan dalam kehidupan kita! Ia yang telah lahir bagi kita manusia, adalah juga Dia yang telah menebus dosa kita dan mendamaikan kita dengan Allah, Bapa kita. Dengan demikian, Ia menyanggupkan kita untuk hidup bersama, satu sama lain dalam damai Natal itu. "Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya"[1]. Kabar Gembira Natal itulah yang harus kita hayati dan wujud-nyatakan di dalam kehidupan kita bersama.
Tema Natal kita tahun ini adalah: "Tuhan itu baik kepada semua orang." Tema ini hendak mengingatkan kita, bahwa sesungguhnya Allah menciptakan manusia menurut gambar dan citra-Nya[2]. Allah adalah Allah bangsa-bangsa[3]. Ia tidak hanya mengasihi Israel saja, tetapi juga Edom, Mesir, bahkan semua bangsa-bangsa. "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia".[4] Allah mengasihi dunia dan manusia yang hidup di sana dan manusia diperintahkan-Nya untuk mengolah dan menaklukkannya.[5]
Sebagaimana kelahiran Yesus Kristus adalah bagi semua orang, maka umat Kristiani pun hidup bersama dan bagi semua orang. "Semua orang" adalah siapa saja yang hidup dan bertetangga dengan kita, tanpa membeda-bedakan, sebagaimana Allah, Bapa di surga, juga menyinarkan matahari-Nya dan menurunkan hujan-Nya kepada semua orang tanpa membeda-bedakan.[6] Di dalam interaksi kita dengan sesama, pemahaman ini meliputi semua bidang kehidupan. Yesus Kristus memerintahkan, agar kita mengasihi sesama seperti diri kita sendiri.[7] Itulah hakikat inkarnasi Ilahi di dalam diri Yesus Kristus yang adalah Manusia bagi orang lain. Kelahiran Yesus Kristus mendasari relasi kita dengan orang lain. Maka kita menjalin relasi dengan sesama, tanpa memandang suku, ras, agama dan golongan.
2. Dalam semangat inilah kita merayakan Natal sambil merefleksikan segala peristiwa yang telah kita lalui di tahun 2009 seperti misalnya Krisis Ekonomi Global, Pemilihan Umum, Aksi Terorisme sampai dengan Bencana Alam yang melanda beberapa wilayah Tanahair kita. Segala peristiwa tersebut mengingatkan kita untuk senantiasa menyadari kebesaran Tuhan dan membuat kita rendah hati di hadapan-Nya. Tuhan itu baik, karena Ia memampukan kita melewati semua peristiwa tersebut bersama sesama kita manusia. Maka Natal ini juga hendaknya memberikan kita hikmah dalam merencanakan hari esok yang lebih baik, bagi manusia dan bagi bumi tempat tinggalnya. Manusia yang diciptakan sebagai puncak dan mahkota karya penciptaan Allah, tidak bisa dilepaskan dari dunianya. Sungguh, "Tuhan itu baik bagi semua orang dan penuh rakhmat terhadap segala yang dijadikan-Nya".[8]
Oleh karena itu, kala merayakan peringatan kelahiran Yesus Kristus, Tuhan kita, kami mengajak seluruh umat Kristiani setanah-air untuk bersama-sama umat beragama lain menyatakan kebaikan Tuhan itu dalam semangat kebersamaan yang tulus-ikhlas untuk membangun negeri tercinta kita. Sebagai bagian integral bangsa, umat Kristiani di Indonesia adalah warganegara yang secara aktif turut mengambil bagian dalam upaya-upaya menyejahterakan bangsa, karena kesengsaraan bangsa adalah kesengsaraan kita dan kesejahteraan bangsa adalah kesejahteraan kita juga. Dengan pemahaman solidaritas seperti itu, umat Kristiani juga diharapkan turut melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan yang baru Negara ini, demi terwujudnya keadilan sosial dan kesejahteraan yang merata, termasuk juga demi terwujudnya upaya memulihkan keutuhan alam ciptaan yang menjadi lingkungan hidup kita. Merayakan Natal sebagai ungkapan penerimaan kedatangan Yesus Juruselamat, haruslah juga menjadi awal perubahan sikap dan tindakan untuk sesuatu yang lebih baik. Kedatangan Yesus bagi semua orang melalui karya-Nya, dahulu telah dipersiapkan oleh Yohanes Pembaptis dengan memaklumkan perubahan sikap dan tekad ini[9], baik melalui pewartaannya maupun melalui peri-hidupnya sendiri. Hal itu membuat mereka yang dijumpainya dan mendengar pewartaannya bertanya: "Jika demikian, apakah yang harus kami perbuat?"[10]
3. Karena itu, melalui pesan Natal ini, kami mengajak seluruh umat Kristiani:
a.. untuk senantiasa menyadari kebaikan Tuhan, dan dengan demikian menyadari juga panggilan dan perutusannya untuk berbuat baik kepada sesamanya[11]. Kita dipanggil bukan untuk membalas kejahatan dengan kejahatan, sehingga kita dikalahkan oleh kejahatan, melainkan untuk mengalahkannya dengan kebaikan[12], supaya dengan melihat perbuatan baik kita di dunia ini, orang memuliakan Bapa yang di surga[13].
• untuk melibatkan diri secara proaktif dalam berbagai upaya, terutama yang direncanakan oleh Pemerintah dalam program-program pembangunan manusia seutuhnya. Kita juga dipanggil untuk terlibat aktif bersama dengan gerakan-gerakan atau apsirasi-aspirasi lain, yang mempunyai keprihatinan tulus, untuk mewujudkan masyarakat majemuk yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, keikhlasan dan solidaritas memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bersama.
a.. untuk ikut terlibat aktif dalam menyukseskan program-program bersama antara Pemerintah dan masyarakat demi keharmonisan hubungan manusia dengan manusia, tetapi juga antara manusia dengan alam lingkungan hidupnya. Dalam upaya-upaya pelestarian lingkungan dan keutuhan ciptaan, umat Kristiani hendaknya tidak hanya menjadi pelaku-serta saja, tetapi juga menjadi pemrakarsa.
Akhirnya, Saudara-saudari seiman yang terkasih, marilah kita berdoa juga bagi Pemerintah kita yang baru, yang dengan demokratis telah ikut kita tentukan para pengembannya, bersama dengan seluruh jajarannya dari pusat sampai ke daerah-daerah, agar mereka dapat menjalankan tugas mereka dengan baik. Itulah yang diamanatkan oleh Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Demikianlah pesan kami. Selamat Natal 2009 dan Selamat Menyongsong Tahun Baru 2010. Tuhan memberkati.
Jakarta, November 2009
Atas nama
PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA
DI INDONESIA (PGI) (KWI)
Pdt. Dr. A.A. Yewangoe Mgr. M.D.Situmorang OFMCap.
Ketua Umum Ketua
Pdt. Dr. R. Daulay Mgr. A. Sutrisnaatmaka MSF.
Sekretaris Umum Sekretaris Jenderal
-------------------------------------------------------------------------------
[1] Luk. 2:14.
[2] Bdk. Kej.1:26.
[3] Bdk. Mzm. 47:9-10.
[4] Yoh 3:16-17.
[5] Bdk Kej. 1:38.
[6] Bdk. Mat 5:45.
[7] Bdk. Mat. 22:39.
[8] Mzm. 145:9.
[9] Bdk. Mrk. 1:4; Luk. 3:3.
[10] Bdk. Luk. 3:10.
[11] Luk. 6:33; Gal. 6:9.
[12] Bdk. Rom 12:21.
[13] Bdk Mat. 5:16; 1Ptr. 2:12.
Tuhan itu Baik Kepada Semua Orang
Partangiangan (Ibadah) Tempat Kampanye ? Ngak Lah Yauuuu….
Partangiangan (Ibadah) Tempat Kampanye ? Ngak Lah Yauuuu….
St. Simson Tampubolon
Saat minum bandrek dimalam hari bersama seseorang yang saya hormati dan seorang sahabat saya, saya dikejutkan dengan rencana akan datangnya seorang Caleg dari partainya Esbeye ke partangiangan Wyik (lingkungan) yang akan kami adakan pada hari Rabu yang akan datang. Sambil menarik rokok kesenanganku, aku diam seribu bahasa menanti mendengarkan penjelasan tujuan caleg yang bukan anggota jemaat wyik kami, ingin hadir di tempat ibadah di lingkungan kami sementara (yang saya tahu) caleg tersebut hampir tidak pernah mengikuti partangiangan di wyiknya. Katanya, tujuannya meminta doa agar dirinya dapat kembali duduk di parlemen.
Karena dalam penjelasan tersebut hanya dikatakan meminta doa, saya tawarkan, bagaimana bila caleg tersebut tidak perlu hadir di partangiangan wyik kami dan kami akan mendoakannya dan bila pun harus hadir dalam partangiangan tersebut, caleg dimaksud tidak boleh berbicara apalagi membagi-bagikan kartu nama atau apapun bahan-bahan peraga alat kampanyenya.
Tentu tawaran saya tersebut tidak menarik dan menanyakan apa alasan menolaknya. Tentu saja, saya menjelaskan bahwa Eforus HKBP GHM Siahaan almarhum saat HKBP ditekan untuk memberi dukungan kepada kekuatan politik yang sangat berjaya di masa pemerintahan Orde Baru pernah mengatakan Let The Church be The Church. Biarlah gereja tetap gereja yang netral tidak berpihak kepada partai tertentu dan menjaga jarak kepada partai politik. Kedua, dari dulu juga Undang-undang melarang hal itu !. Dalam Undang-undang yang berlaku saat ini, yakni UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan Peraturan KPU No. 19 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, dilarang untuk melakukan kampanye di tempat ibadah (Pasal 84 UU No.10/2008 dan Pasal 26 (1) h, Peraturan KPU No. 19/2008). Dalam UU dan Peraturan tersebut, jelas didefinisikan bahwa Kampanye Pemilu adalah kegiatan peserta pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program peserta pemilu termasuk mengajak memilih seseorang atau partai tertentu. Bagi saya, kedatangan kami setiap Rabu malam ke rumah-rumah jemaat untuk melakukan partangiangan bahwa rumah tersebut adalah tempat ibadah atau ‘memindahkan’ gedung gereja ke rumah jemaat. Jadi jelaslah melakukan kampanye di partangiangan, walaupun setelah ibadah ditutup tidak diperkenankan. Berita bahwa Panwaslu Kota Medan pada tanggal 8 Februari 2008 lalu melaporkan dua caleg perempuan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) serta satu orang fasilitator ke Poltabes Medan karena dituduh melakukan kampanye di tempat ibadah di salah satu rumah pada saat perwiridan (http://harianmandiri.wordpress.com/2009/02/09/panwaslu-medan-polisikan-caleg-perempuan-ppp/), memperjelas pemahaman saya bahwa ‘kampanye’ ditempat peribadatan (walau dilakukan dirumah-rumah) merupakan pelanggaran !.
Dengan penjelasan tersebut, kedua rekan saya minum bandrek tadi, memahami dan menyetujui bahwa kedatangan seseorang caleg pada partangiangan tidaklah perlu didukung. Dan kami sepakat untuk menjadi bahan pembahasan di sermon hari Selasa yang akan datang. Walau konsekwensi dari tidak diperkenankannya caleg tersebut akan berdampak juga bagi sahabat kami satu kumpulan yang juga merupakan seorang caleg akan terkena dampak dari ketidak setujuan saya tersebut. Maaflah, saya tidak pernah melihat sentimen perkerabatan atau karena tidak senang kepada seseorang untuk menyatakan pendapat.
Sayang, saya memang tidak pernah bisa tepat waktu untuk Sermon yang selalu dimulai pukul 16.30 karena pekerjaan saya harus menuntut pulang secepat-cepatnya pukul 17.30. Kehadiran saya di Sermon tersebut hampir tidak berguna karena telah ditetapkan kedatangan seorang Caleg ke partangiangan diperbolehkan. Namun saya belum patah arang. Sebelum sermon ditutup, saya minta izin untuk berbicara sebentar, dan saya menggugat keputusan yang telah ditetapkan untuk mengizinkan seorang caleg untuk berkampanye di partangiangan Wyik dengan menyampaikan alasan-alasan di atas. Seorang rekan saya Sintua, yang pada periode pemilu lalu melakukan ‘kampanye’ (sebagaimana definisi di atas) tidak sepakat dengan perkataan saya. Pertama, kegiatan tersebut bukanlah kampanye menurutnya dan juga mencontohkan bahwa Pimpinan HKBP pun telah melakukannya dengan mengumpulkan warga jemaat yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif untuk di doakan. Oleh karena itu, bila ada yang tidak setuju dengan hal kebijakan pimpinan HKBP tersebut, dipersilakan untuk keluar dari HKBP. :)
Tentu saja, himbauan atau saran untuk keluar dari HKBP, saran kekanak-kanakan dan juga mengada-ada tersebut tidak akan pernah saya hiraukan. Terserahlah, kalau mengatakan kegiatan itu bukan kampanye, saya mengartikan yang mengatakannya tidak memahami definisi kampanye yang dimaksudkan oleh perundang-undangan. Kedua, walaupun kegiatan pengumpulan Caleg dengan alasan untuk didoakan inipun saya kurang setuju, namun setahu saya, dalam acara tersebut, para caleg hanya hadir dan paling banter didaulat datang kedepan dan tidak berbicara untuk mengajak memilih dirinya atau partai tertentu atau tidak diperkenankan berkampanye. Disamping itu, sebagai manusia tentu saja, pimpinan memungkinkan membuat kebijakan yang kurang tepat dan kita tidak harus keluar dari organisasi tersebut. Bahkan kita harus menjadi bagian dari reformasi menuju kebenaran. Bukan malah keluar !
Walau diskusi yang tidak kondusif tersebut berakhir dengan tidak mengubah keputusan sebelumnya, yakni membolehkan seorang caleg ‘berkampanye’ dalam suatu partangiangan, namun diakhir diskusi, saya mengatakan, akan melaporkan ke KPU atau ke Panwaslu, bila seseorang ‘nekat’ berkampanye di partangiangan wyik atau lingkungan kami. Kalau di wyik lain yang tidak saya lihat ya terserah saja.
Kita menganut azas pemisahan negara dan agama. Partai adalah partai. Gereja adalah gereja. Partai (yang didalamnya banyak orang Kristen) jangan menganggap diri sebagai gereja. Sebaliknya: gereja juga jangan jadi partai atau onderbouw partai, termasuk yang memakai label dan simbol kristen. Kalau mau berpartai silakan. Kalau ingin jadi anggota parlemen atau bupati atau sekalian Presiden baik-baik saja. Tapi mari sama-sama jangan jadikan gereja sebagai kenderaan atau kuda tunggangan. Oleh karena itu, saya mengajak semua warga gereja dan Majelis gereja, bersatu hati dan kukuh menjaga independensi gereja ini.
Memakai bahasa Eforus GHM Siahaan mendiang: Let the Church be the Church. Let the priest be the priest. Bahasa bataknya: paloas ma huria tongtong gabe huria. Horas !!!
"Vox Populi Vox Dei"
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 24/PUU-IV/2008 yang membatalkan ketetentuan penetapan calon terpilih melalui nomor urut dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, pada Pasal 214 menjadi berdasarkan suara terbanyak, disambut hangat banyak kalangan khususnya masyarakat. Rakyat dapat menentukan siapa wakil yang dikehendaki dalam parlemen. Vox populi vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan.
Mekanisme dengan sistem suara terbanyak patut diberi apresiasi karena telah mengembuskan angin segar bagi demokrasi kita. Sistem nomor urut yang selama ini dinilai sarat dengan muatan KKN –sering kali dalam proses penentuan nomor urut terjadi politik uang-, tergantung kedekatannya dengan partai tinimbang dengan masyarakat atau konstituennya. Yang akhirnya, kader partai yang duduk di legislatif cenderung sangat loyal kepada pengurus partai tinimbang pemilih yang menjadi konstituennya.
Disatu sisi, sistem berdasarkan suara terbanyak akan menumbuhkan kompetisi antara caleg parpol yang berbeda maupun sesama caleg dalam satu partai. Dengan sistem suara terbanyak, semua caleg mendapat kesempatan sama untuk menjadi caleg terpilih. Terpilih atau tidaknya caleg tergantung bagaimana caranya caleg meraih simpati pemilih. Bagaimana mumpuninya dan bagaimana caleg dapat menjelaskan perjuangannya nantinya dengan baik ke masyarakat pemilih. Kapasitas dan integrasi caleg diuji.
Mekanisme suara terbanyak memang lebih demokratis, kompetitif, dan memenuhi rasa keadilan dibandingkan nomor urut. Namun, penerapan sistem ini, disamping dapat menyebabkan saling jegal antarcaleg baik yang berbeda partai maupun antarcaleg yang berasal dari satu parpol. Persaingan ini bisa menjadi tidak sehat dan meninggalkan kaidah-kaidah etika. Disisi lain, penerapan sistem suara terbanyak, dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty). Pada UU No. 10 tahun 2008 Pasal 218, calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dapat diganti dengan calon dari daftar calon lain pada daerah pemilihan yang sama berdasarkan surat keputusan pimpinan partai politik yang bersangkutan. Ketidak jelasan kesepakatan internal partai dapat menjadi celah terjadinya kepentingan partai atau praktek KKN. Bila ini terjadi maka kesepakatan partai lebih tinggi dari kekuatan hukum undang-undang.
Terlepas dari persoalan-persoalan di atas, saat ini masyarakat lebih jeli dan cerdas, memilih siapa yang akan menjadi wakilnya duduk di parlemen. Walau, masyarakat tetap menerima kehadiran dan menerima pemberian caleg namun masyarakat tetap apatis menanggapi janji yang diucapkan dan tawarkan. Apalagi bila selama ini sejumlah caleg yang sudah pernah duduk di parlemen kurang dikenal pemilihnya karena terlalu sibuk di kegiatan lain atau di kegiatan partai, akhir-akhir ini mendadaki berlomba-lomba mengejar popularitas mendatangi para konstituennya.
Persoalannya adalah siapa yang berhak menyandang sebutan wakil rakyat yang terhormat ? Bagaimana memilih 100 orang wakil rakyat di Provinsi Sumatra Utara dan bagaimana memilih 50 orang wakil rakyat di Kota Medan. Perkara ini tentu tidak mudah. Ditambah lagi, kiprah para caleg belum pernah dikenal masyarakat dan rekam jejak sebagian mereka tidak banyak diketahui. Berbagai peringatan pernah kita dengar, ketika hendak memilih sesorang. Jangan memilih kucing dalam karung, jangan memlihih politikus busuk dan lainnya. Hal ini bisa terjadi karena masyarakat tidak mengenal caleg dengan baik. Konsekwensi ini dapat mendorong pemilihan caleg akan berbau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) atau primordial, juga politik uang. Kalau ini yang terjadi, kita tidak akan dapat menghadirkan wakil rakyat yang berkualitas dan memikirkan rakyatnya. Artinya, kita akan sulit mengharapkan perubahan yang kita harapkan.
Walau sebagian dari caleg tidak kita ketahui rekam jejaknya dan mendadak sibuk mencari popularitas dengan terjun langsung mengenalkan diri ke masyarakat pemilih, setidaknya,kualitas para caleg dapat tercermin dari spanduk, stiker atau baliho yang mereka pasang. Bila melihat berbagai alat peraga kampanye, mulai dari spanduk, baliho yang marak bertebaran diberbagai tempat saat ini di kota Medan, dan juga stiker serta kartu nama para caleg yang diberbagai pertemuan akan kita terima, kita akan kesulitan menemukan ada kata-kata cerdas yang menjadi visi dan misi dari caleg tersebut. Dimana, yang seharusnya, alat peraga kampanye tersebut berisikan visi, misi & program caleg yang bersangkutan, tidak hanya simbol-simbol atau tanda gambar peserta pemilu saja.
Dari beberapa diskusi dengan para caleg, hampir sebagian caleg kurang mau belajar dan kurang mau mendengar. Hal ini bisa dinilai dari sejauh mana para caleg memahami dan mengerti akan undang-undang saat ini yang berlaku khususnya yang berhubungan dengan pemilu diantaranya UU No.10/2008 tentang Pemilu dan Peraturan KPU No. 19/2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD serta lainnya.
Pada Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2008 tanggal 30 Juni 2008 perihal Pedoman pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD & DPRD.jelas ditegaskan bahwa penempatan alat peraga tidak pada jalan-jalan protokol dan harus mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan dan keindahan kota sesuai dengan Peraturan Daerah setempat serta harus berjarak dari alat peraga peserta pemilu lainnya. Memang kita sadari, keindahan tidak selalu memiliki rumusan tertentu. Ia berkembang sesuai penerimaan masyarakat terhadap ide yang dimunculkan oleh pembuat karya. Karena itulah selalu dikenal dua hal dalam penilaian keindahan, yaitu the beauty, suatu karya yang memang diakui banyak pihak memenuhi standar keindahan dan the ugly, suatu karya yang sama sekali tidak memenuhi standar keindahan dan oleh masyarakat banyak biasanya dinilai buruk, namun jika dipandang dari banyak hal ternyata memperlihatkan keindahan.
Dari penempatan spanduk & baliho yang ada sekarang, kelihatan para caleg tak percaya diri untuk menyampaikan visi, misi dan program yang akan diperjuangkannya kelak dan tidak mempunyai nilai estetika atau lebih parah lagi tidak memahami peraturan yang berlaku, sebagaimana yang diatur oleh KPU pada Peraturan KPU No.19 tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilu anggota DPR, DPRD & DPD. Itu artinya caleg tersebut tidak layak untuk dipilih dan tak layak menjadi anggota parlemen yang terhormat. Belum jadi anggota legislatif saja tidak mengindahkan peraturan atau tidak mau tahu akan ketentuan yang berlaku. Bagaimana lagi bila sudah menjadi wakil rakyat sudah tentu semaunya saja menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan partai politiknya.
Krisis ekonomi global juga akan memicu maraknya praktik politik uang dalam mencari simpati para konstituen. Tentu saja, uang atau barang apa pun yang ditawarkan oleh para caleg dapat diterima, namun caleg tersebut tidak perlu dipilih. Sebab, bila ada caleg yang mempratikkan politik uang, itu artinya calon wakil rakyat yang tak percaya diri, kurang berprestasi dan tidak berkualitas yang tentunya tidak perlu dipilih.
Namun, apa pun hasilnya dari pemilu nanti, harus diterima dengan legawa, karena itulah kehendak rakyat: vox populi vox Dei.